Oleh Abdel Achrian
TEBET, AYOJAKARTA.COM -- Sekira sebulan lalu, rumah gue di bilangan Pisangan Lama, Jakarta Timur, ramai dikunjungin wartawan. Ya... itu, gara-gara ada cuitan di Twitter yang memajang foto dan video tentang kuburan yang letaknya di jalanan. Persis di depan rokum ortu di Old Bananas itu.
Gue juga beberapa kali dihubungin wartawan yang mau tahu cerita kenapa kuburan itu ada di sana. Gue sendiri kurang begitu paham coz sejak lahir, itu makam-makam sudah ada duluan. Jumlahnya mungkin sekitar 30-an yang tersebar di beberapa lokasi. Jaraknya gak berjauhan.
Bahkan, ketika bokap nyokap masuk Pisangan Lama sekitar tahun 1961, makam itu sudah ada. Menurut informasi yang justru gue dapat dari berita yang bersliweran tentang kuburan itu, ada makam yang sudah sejak tahun 1940-an ada di sana.
Siapa yang dikubur di sana, gue juga gak begitu tahu banyak. Cuma salah satunya adalah makam Haji Toha. Kuburannya cukup unik. Lebarnya berukuran dua kali lipat makam yang lain. Kenapa gede begitu? Ternyata, makam itu menjadi tempat peristirahatan terakhir Haji Toha bersama istrinya. Jadi dua makam dijadikan satu, pantesan gede ya.
Beliau ini sesepuh Pisangan Lama. Salah satu anak beliau adalah tetangga sebelah rumah. Kami sekeluarga memanggilnya Nek Ije. Mungkin namanya Khadijah...? Nenek tua itu (namanya juga nenek), sudah seperti keluarga sendiri. Anak dari bokap dan nyokap yang jumlahnya delapan orang, ketika kecil pasti merasakan gendongan beliau.
Waktu gue SD sekitar awal 1980-an, umur almarhum Nek Ije mungkin sudah di atas 70 tahun. Kalau gue itung-itung, mungkin beliau lahir dekade awal tahun 1900-an. Nah, bisa dibayangin, Haji Toha itu terlahir pada tahun berapa?
Ada lagi makam yang juga merupakan sesepuh Pisangan. Namanya Dalu bin Loyo. Lagi-lagi, gue cuma sempat bertemu dengan anak keturunan beliau. Salah satunya almarhum Pak Haji Sabeni. Gak jauh beda dengan Nek Ije, pas gue kecil, beliau sudah dipanggil dengan sebutan Kong Beni. Bisa dibayangin umur sesepuh Pak Dalu bin Loyo itu.
Satu lagi kuburan yang gue sedikit tahu ceritanya adalah makam yang di nisannya ada nama Mardjuki. Beliau ini, menurut info, adalah bapak dari M Sani. Nama terakhir ini termasuk legenda di Pisangan. Panggilan topnya Bang Mat Bolot. Jawara pada masanya. Tentu jago berantem.
Bang Mat Bolot ini meski jauh lebih senior, deket juga dengan anak-anak tongkrongan seumuran gue. Jadi kita sering denger cerita doi dan cerita tentang doi. Biasa, tipikal Betawi tulen. Garang tapi kocak.
Suatu kali Bang Mat Bolot sedikit curhat ke kita-kita. "Abang ini di mata orang-orang kayaknya tetep aja begajulan. Padahal kadang abang subuhan di mesjid lho."
Gue tanya, "kok Abang bisa bilang gitu?"
"Coba deh lo bayangin. Kemaren ada ustadz dateng ke rumah. Mau ngajak abang ikutan jadi panitia mauludan [perayaan maulid Nabi Muhammad]," begitu kata Bang Mat Bolot.
"Lah, bukannya itu baek bang?" gue jadi keheranan sendiri denger jawaban beliau.